DISINI

KAMI ANAK MATAHARI

kemarin itu dunia kami penuh cerita dan kenangan, kenangan pahit manis bersama mereka yang hari ini mungkin masih ada atau yang telah pulang ke pangkuan bumi tempat kami menyembah matahari. Kebersamaan seperti ini sering kami lakukan enta senga berkumpul untuk merencanakan sesuatu atau kebetulan skali tanpa sengaja kami duduk bersama. Hal yang paling sering dan terhitung paling dominan yang selalu membuat kami berkelompok dalam satu regu kecil adalah aktivitas menunggu matahari. Bukan hanya karna kami menjunjung tinggi matahari tetapi memang di kampung kami waihelan kerinduan matahari di saat pagi  adalah seperti doa yang sukar ditinggalkan. Kami akan mati kedinginan dan tak bisa beraktivitas bila sang tuan junjungan kami tak hadir saat kerinduan mendalam dari hati kami sedang bergejolak..
Kelompok kecil yang terbentuk setiap pagi biasanya terdiri dari 3 atau empat orang ataupun lebih dan pasti selalu berada di area depan pintu rumah sambil meneguk kopi hasil bumi kami dan menarik gulingan daun lontar yang telah disi dengan tembakau hasil tanah kami. Maklum tanah kami memang kaya tapi tak bisa di kelolah dengan baik... maklum tanah kami masih berstatus kepemilikan pemerintahan adat yang berwatak feodal.
Aktivitas duduk berkelompok ini yang jelas adalah menunggu matahri menyengat kulit lebam kusut akibat hawa dingin semalaman yang tak perna bosan menghujam kampung kami.
Kampung kami tak mampan bilah hanya di jelaskan dengan kata-kata karenabsebagian fenomena alamanya belum si bahasakan dalam tata bahasa indonesia atau bahasa apapun dan yang jelas hanya kami punya yang bisa.
Wilayah kami bisa di jangkaui dengan kendaraan roda dua dan empat bisa dari arah pelabuhan waiwadan menuju ke kapela st.maria goreti itulah jalan trans seburi kira2 7 km menuju ke kampung kami waihelan. Disana kami tak punya penginapan buat para turis manca negara dan domestik untuk bernostalgia.. kami hanya punya rumah warga yang masyarakatnya ramah dan santun bahkan mwrelahkan tubuh kami berada di atas bambu cincang dan yang paling penting adalah tamu kami bisa tidur dengan aman.. kebiasaan kami warisan nenek leluhur ini memang tidak bisa pudar dan tidak akan pudar bukan berarti kami ini terisolir, terpinggir dll sesuai dengan sebutan pemerintahan borjuis untuk kamum mayoritas didesa itu tertinggal, terpencil, terpinggir, termiskin dll. Kami tahu kami miskin uang dan itu jelas krna kampung kami tidak ada pabrik uang. Kami kaya alam dan budaya. Kami juga tidak tau makan uang, suap menyuap apalagi namanya pencuri . Kami hanya bisa makan dari hasil alam kami, kami hanya bisa menyuap bayi mungil kami, kami jug hanya bisa mencuri hati gadis desa kami.. singaktnya kami hanya bisa makan dari hasil alam kami dan kami hanya bisa menyogok dengan kekayaan budaya kami. Mungkin di tempat lain atau kerennya biasa oleh pemerintah menyebutnya korupsi. Kata itu baru bagi kami dan ternyata hanpir sama dengan mencuri menurut penngertian kami namun oleh mereka itu banyak hal dan untuk yg satu ini juga kami maklumi karna mungkin pencuri di kelas mereka sudah berlimpah maka perlu di bagi ke dalam divisi-divisinya.
Mungkin hanya itu yang bisa goe sampaikan saat ini dan sekali lagi kami punya Rera wulan sebagai yang berkuasa dan tana ekan tempat kami mencari makan bwetumbuh dan berbuat baik.. kami punya sejarah yang belum perna di tulis dan memang kami tidak mau sejarah kami di tulis oleh ilmuwan borjuis yang pada akhirnya budaya kami di politisasi dan akhirnya tidak murni ceritanya. Munkin tak pantas untuk mendapat gelar ini tapi kami dari sini, dia junjungan kami, KAMI ANAK MATAHARI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar